KATA PENGANTAR
Puji syukur
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah ini dapat
tersusun hingga selesai . Tidak lupa saya juga mengucapkan terima kasih atas
bantuan yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya.
Dan harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, saya yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu saya sangat mengharapkan saran dan kritik yang bagus dari pembaca agar menjadi makalah yang bagus.
Dan harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, saya yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu saya sangat mengharapkan saran dan kritik yang bagus dari pembaca agar menjadi makalah yang bagus.
Bekasi, 23 Maret 2017
Ryan
Afie Naufal
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumususan Masalah
1.3 Tujuan Masalah
BAB II ISI
2.1 Perkembangan Kebudayaan Indonesia
2.2 Teori-teori Perubahan Sosial
2.3 Hubungan antara Perubahan Sosial dan Perubahan
Kebudayaan
2.4 Beberapa Bentuk Perubahan Sosial dan Kebudayaan
2.5 Faktor-faktor yang Menyebabkan Perubahan Sosial
dan Kebudayaan
2.6 Proses-proses Perubahan Sosial dan Kebudayaan
2.7 Peristiwa-peristiwa Perubahan Kebudayaan
2.8 Barat dan Timur di Antara Kebudayaan Nasional
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peristiwa-peristiwa perubahan kebudayaan selalu
melanda semua bangsa dan negara di dunia demikian pula tidak terkecuali melanda
masyarakat Indonesia, walaupun luas permasalahan dan tingkat permasalahan itu
berbeda-beda. Demikian pula masyarakat dan kebudayaan Indonesia pernah berkembang
dengan pesatnya di masa lampau, walaupun perkembangannya dewasa ini
bisa dikatakan lebih tertinggal apabila dibandingkan dengan perkembangan di
negera maju lainnya. Bagaimanapun masalah yang dihadapi, masyarakat
dan kebudayaan Indonesia yang beranekaragam itu tidak pernah mengalami kondisi
kehilangan kebudayaan sebagai perwujudan tanggapan aktif masyarakat terhadap
tantangan yang timbul akibat perubahan lingkungan dalam arti luas maupun
pergantian generasi.
Secara umum ada dua
kekuatan yang menyebabkan timbulnya perubahan sosial, hal
yang pertama adalah kekuatan dari dalam masyarakat sendiri (internal factor),
seperti pergantian generasi dan berbagai penemuan dan rekayasa setempat. Hal
kedua, adalah kekuatan dari luar masyarakat (external factor), seperti pengaruh
kontak-kontak antar budaya (culture contact) secara langsung
maupun persebaran (unsur) kebudayaan serta perubahan lingkungan
hidup yang pada gilirannya dapat memacu perkembangan sosial dan kebudayaan
masyarakat yang harus menata kembali kehidupan mereka
Ada dua orang antroplog terkemuka yaitu Melville J.
Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa Cultural Determinims
berarti segala sesuatu yang terdapat didalam masyarakat ditentukan adanya oleh
kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu.
1.2 Tujuan Masalah
Berdasarkan latar belakang makalah, kebudayaan diatas
bahwasanya didalam kebudayaan terdapat peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
kehidupan manusia yaitu Cultural Lag, Cultural Survival, Cultural Conflik dan
Cultural Shock serta pengaruhnya terhadap kehidupan manusia Indonesia.
1.3 Rumusan Masalah
a. Apa saja yang terjadi dalam peristiwa-peristiwa
kebudayaan?
b. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya
peristiwa-peristiwa kebudayaan ?
c. Bagaimana cara kita sebagai manusia dalam
menyikapi masalah terkait peristiwa-peristiwa kebudayaan?
ISI
2.1 Perkembangan
Kebudayaan Indonesia
Berbicara tentang kebudayaan Indonesia yang ada
dibayangan kita adalah sebuah budaya yang sangat beraneka ragam. Bagaimana
tidak, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, hal inilah yang
menyebabkan Indonesia memiliki kebudayaan yang beraneka ragam.
Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan
pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan
menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi
tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu
masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya
dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar
dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan
maupun yang tidak (termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia).
Kebudayaan yang dimiliki oleh suatu bangsa merupakan
keseluruhan hasil cipta, karsa, dan karya manusia. Indonesia sendiri sebagai
Negara kepulauan dikenal dengan keberagaman budayanya, yang mana keanekaragaman
itulah menunjukkan betapa pentingnya aspek kebudayaan bagi
suatu Negara. Karena jelas bahwa kebudayaan adalah suatu identitas
dan jati diri bagi suatu bangsa dan Negara.
Kebudayaan Indonesia bukanlah suatu yang padu dan bulat,
tetapi adalah suatu yang terjadi dari berbagai unsur-unsur suku bangsa. Di
daerah Indonesia yang sangat luas terdapat bermacam macam kebudayaan sebagaimana
diketahui, bahwa unsur sejarah yang menentukan perkembangan kebudayaan Indonesia
itu terbagi menjadi lima lapisan yaitu, (1) kebudayaan Indonesia asli, (2)
Kebudayaan India, (3) Kebudayaan Islam, (4) Kebudayaan Modern, (5) Kebudayaan
Bhineka Tunggal Ika.
2.2 Teori-teori Perubahan Sosial
Para
ahli filsafat, sejarah, ekonomi, dan sosiologi telah mencoba untuk merumuskan
prinsip-prinsip atau hukum-hukum perubahan-perubahan sosial. Banyak yang
berpendapat bahwa kecenderungan terjadinya perubahan-perubahan sosial merupakan
segaja wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia.
Pitirim
A. Sorokin berpendapat bahwa segenap usaha untuk mengemukakan adanya suatu
kecenderungan yang tertentu dan tetap dalam perubahan-perubahan sosial tidak
akan berhasil baik. Dia meragukan kebenaran akan adanya lingkaran-lingkaran
perubahan sosial tersebut. Akan tetapi, perubahan-perubahan tetap ada yang
paling penting adalah lingkaran terjadinya gejala-gejala sosial harus
dipelajari karena dengan adanya jalan tersebut barulah akan dapat diperoleh
suatu generalisasi.
2.3 Hubungan antara Perubahan Sosial dan Perubahan
Kebudayaan
Kingsley
Davis berpendapat bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan
kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencangkup semua bagiannya, yaitu:
kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan seterusnya, bahkan perubahan-perubahan
dalam bentuk serta aturan-aturan organisasi sosial. Sebagai contoh
dikemukakannya perubahan pada logat bahasa Aria setelah terpisah dari induknya.
Akan tetapi, perubahan tersebut tidak memengaruhi organisasi sosial
masyarakatnya. Perubahan-perubahan tersebut lebih merupakan perubahan
kebudayaan ketimbang perubahan sosial.
Perubahan
sosial dan perubahan budaya sebenarnya di dalam kehidupan sehari-hari, acap
kali tidak mudah untuk menetukan garis pemisah antara perubahan sosial dan kebudayaan.
Hal itu disebabkan tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan, dan
sebaliknya tidak mungkin ada kebudayaan yang tidak menjelma dalam suatu
masyarakat. Hal itu mengakibatkan bahwa garis pemisah di dalam kenyataan hidup
antara perubahan sosial dan kebudayaan lebih sukar lagi untuk ditegaskan.
Biasanya antara kedua gejala itu dapat ditemukan hubungan timbale balik sebagai
sebab dan akibat.
2.4 Beberapa Bentuk Perubahan Sosial dan Kebudayaan
Perubahan sosial dan
kebudayaan dapat dibedakan ke dalam beberapa bentuk, yaitu sebagai berikut.
1. Perubahan Lambat dan Perubahan Cepat
Perubahan-perubahan
yang memerlukan waktu lama, dan rentetan-rentetan perubahan kecil yang saling
mengikuti dengan lambat dinamakan dengan evolusi. Pada evolusi perubahan
terjadi dengan sendirinya tanpa rencana atau kehendak tertentu. Perubahan
tersebut terjadi karena usaha-usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan
keperluan-keperluan, keadaan-keadaan, dan kondisi-kondisi baru, yang timbul
sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Rentetan perubahan-perubahan tersebut
tidak perlu sejalan dengan rentetan peristiwa-peristiwa di dalam sejarah
masyarakat yang bersangkutan.
Sementara itu, perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan
yang berlangsung dengan cepat dan menyangkut dasar-dasar atau sendi-sendi pokok
dalam kehidupan masyarakat (yaitu lembaga-lembaga kemasyarakatan) lazimnya
dinamakan “revolusi”. Misalnya revolusi industri di Inggris, dimana
perubahan-perubahan terjadi dari tahap produksi tanpa mesin menuju ke tahap
produksi mengggunakan mesin.
2. Perubahan Kecil dan Perubahan Besar
Agak
sulit untuk merumuskan masing-masing pengertian tersebut di atas karena
batas-batas pembedaannya sangat relatif. Sebagai pegangan dapatlah dikatakan
bahwa perubahan-perubahan kecil merupakan perubahan-perubahan yang terjadi pada
unsure-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau berarti
bagi masyarakat.
Kepadatan penduduk di pulai Jawa, misalnya, telah
melahirkan berbagai perubahan dengan pengaruh yang besar. Areal tanah yang
dapat diusahakan menjadi lebih sempit; pengangguran tersamar kian tampak di
desa-desa. Mereka tidak mempunyai tanah menjadi buruh tani dan banyak wanita
serta anak-anak yang menjadi “buruh” potong padi pada waktu panen. Sejalan
dengan itu, terjadi pula proses individualisasi milik tanah. Hak-hak ulayat
desa semakin luntur karena areal tanah tidak seimbang dengan kepadatan
penduduk.
Timbullah bermacam-macam lembaga hubungan kerja, lembaga
gadai tanah, lembaga bagi hasil dan seterusnya, yang pada pokoknya bertujuan untuk
mengambil manfaat yang sebesar mungkin dari sebidang tanah yang tidak begitu
luas. Warga masyarakat hanya hidup sedikit di atas standar minimal. Keadaan
atas sistem sosial yang demikian oleh Clifford Geertz disebut shared poverty.
2.5 Faktor-faktor yang Menyebabkan Perubahan Sosial
dan Kebudayaan
Pada umumnya dapat dikatakan
bahwa mungkin ada sumber sebab-sebab tersebut yang terletak di dalam masyarakat
itu sendiri dan ada yang letaknya di luar. Sebab-sebab yang bersumber dalam
masyarakat itu sendiri, antara lain sebagai berikut.
1. Bertambah atau Berkurangnya Penduduk
Berkurangnya
penduduk mungkin disebabkan berpindahnya penduduk dari desa ke kota atau dari
daerah ke daerah lain (misalnya transmigrasi). Perpindahan penduduk menimbukan
kekosongan, misalnya dalam bidang pembagian kerja dan stratifiksi sosial, yang
memengaruhi lembaga-lembaga kemasyarakatan. Perpindahan penduduk telah
berlangsung berates-ratus ribu tahun lamanya di dunia ini. Hal itu sejajar
dengan bertambah banyaknya manusia penduduk bumi ini. Pada
masyarakat-masyarakat yang mata pencaharian utamanya berburu, perpindahan
sering kali dilakukan, yang tergantung dari persediaan hewan-hewan buruannya.
Apabila hewan-hewan tersebut habis, mereka akan berpindah ke tempat-tempat
lainnya seperti manusia purba.
2. Penemuan-penemuan Baru
Suatu
proses sosial dan kebudayaan yang besar, tetapi yang terjadi dalam jangka waktu
yang tidak teralu lama disebut dengan inovasi atau innovation. Penemuan-penemuan
baru sebagai sebab terjadinya perubahan-perubahan dapat dibedakan dalam
pengertian-pengertian discovery dan invention. Discovery adalah
penemuan unsur kebudayan yang baru, baik berupa alat, ataupun yang berupa
gagasan yang diciptakan oleh seorang individu atau serangkaian ciptaan para
individu.
Misalnya penemuan mobil, kereta api, dan jalan kereta api,
telepon, dan sebagainya menyebabkan tumbuhnya lebih banyak pusat kehidupan di
daerah pinggiran kota yang dinamakan suburb.
Proses
penerimaan perubahan berbagai faktor yang mempengaruhi diterima atau tidaknya
suatu unsur kebudayaan baru diantaranya:
a. Terbiasanya masyarakat memiliki hubungan atau
kontak dengan kebudayaan dan dengan orang-orang yang berasal dari luar
masyarakat tersebut.
b. Jika pandangan hidup dan nilai-nilai yang dominan
dalam suatu kebudayaan ditentukan oleh nilai agama, dan ajaran ini terjalin
erat dalam keseluruhan pranata yang ada, maka penerimaan unsur baru itu
mengalami kelambatan dan harus disensor dulu oleh berbagai ukuran yang
berlandaskan ajaran agama yang berlaku.
c. Corak struktur sosial suatu masyarakat turut
menentukan proses penerimaan kebudayaan baru. Misalnya, sistem otoriter akan
sukar menerima unsur kebudayaan baru.
d. Suatu unsur kebudayaan diterima jika sebelumnya
sudah ada unsur-unsur kebudayaan yang baru tersebut.
e. Apabila unsur yang baru itu memiliki skala kegiatan
yang terbatas, dan dapat dengan mudah dibuktikan kegunaannnya oleh warga
masyarakat yang bersangkutan.
3. Pertentangan (Conflict) Masyarakat
Umumnya
masyarakat tradisional di Indonesia bersifat kolektif. Segala kegiatan
didasarkan pada kepentingn masyarakat. Kepentingan individu walaupun diakui,
tetapi mempunyai fungsi sosial. Tidak jarang timbul pertentangan atara
kepentingan individu dengan kepentingan kelompoknya, yang dalam hal-hal
tertentu dapat menimbulkan perubahan-perubahan.
Contoh: Perubahan yang disebabkan Konflik
Pada masyarakat Batak dengan sistem kekeluargaan
patrilineal murni, terdapat adat istiadat bahwa
apabila suami meninggal, keturunannya berada di bawah kekuasaan keluarga
almarhum. Dengan terjadinya proses individualisasi terutama pada orang-orang
Batak yang pergi merantau, kemudian terjadi penyimpangan. Anak-anak tetap
tinggal pada ibunya, walaupun hubungan antara si ibu dengan keluarga almarhum
suaminya telah putus karena meninggalnya suami. Keadaan tersebut membawa
perubahan besar pada peranan keluarga batih dan juga pada kedudukan wanita,
yang selama ini dianggap tidak mempunyai hak apa-apa apabila dibandingkan
dengan laki-laki.
4. Terjadinya Pemberontakan atau Revolusi
Revolusi
yang meletus pada Oktober 1917 di Rusia telah menyulut terjadinya
perubahan-perubahan besar pada Negara Rusia yang mula-mula mempunyai bentuk
kerajaan absolute berubah menjadi dictator proletariat yang dilandaskan pada
doktrin Marxis. Segenap lembaga kemasyarakatan, mulai dari bentuk negara sampai
keluarga batih, mengalami perubahan-perubahan yang mendasar.
Suatu
perubahan sosial dan kebudayan dapat pula bersumber pada sebab-sebab yang
berasal dari luar masyarakat itu sendiri, antara lain sebagai berikut.
a. Sebab-sebab yang Berasal dari Lingkungan Alam Fisik
yang Ada di Sekitar Manusia
b. Peperangan
c. Pengaruh
Kebudayaan Masyarakat Lain
2.6 Proses-proses Perubahan Sosial dan Kebudayaan
1. Penyesuaian Masyarakat Terhadap Perubahan Antarbudaya
Masyarakat
dan kebudayaan di mana pun selalu dalam keadaan berubah, sekalipun masyarakat
dan kebudayaan primitif yang terisolasi jauh dari berbagai perhubungan dengan
masyarakat yang lainnya. Terjadinya perubahan-perubahan ini disebabkan oleh
beberapa hal:
a. Sebab-sebab yang berasal dari dalam masyarakat dan
kebudayaan sendiri, misalnya perubahan jumlah dan komposisi penduduk.
b. Sebab-sebab perubahan lingkungan alam dan fisik
tempat mereka hidup. Masyarakat yang hidupnya terbuka, yang berada dalam
jalur-jalur hubungan dengan masyarakat dan kebudayaan lain, cenderung untuk
berubah secara lebih cepat.
Perubahan
sosial dan perubahan kebudayaan berbeda. Dalam perubahan sosial terjadi
perubahan struktur sosial dan pola-pola hubungan sosial, antara lain sistem
status, hubungan-hubungan di dalam keluarga sistem politik, dan kekuasaan,
serta persebaran penduduk. Sedangkan yang dimaksud dengan perubahan kebudayaan
ialah perubahan yang terjadi dalam sistem ide yang dimiliki bersama oleh para
warga atau sejumlah warga masyarakat yang bersangkutan, antara lain
aturan-aturan, norma-norma yang digunakan sebagai pegangan dalam kehidupan,
juga teknologi, selera, rasa keindahan (kesenian), dan bahasa. Walaupun
perubahan sosial dan perubahan kebudayaan itu berbeda, pembahasan kedua
perubahan itu tak akan mencapai suatu pengertian yang benar tanpa mengaitkan
keduanya.
Keserasian
atau harmoni dalam masyarakat (social equilibrium) merupakan keadaan
yang diidam-idamkan setiap masyarakat. Dengan keserasian masyarakat dimaksudkan
sebagai suatu keadaan dimana lembaga-lembaga kemasyarakatan yang pokok
benar-benar berfungsi dan saling mengisi. Dalam keadaan demikian, individu
secara spikologis merasakan akan adanya ketentraman, karena tidak adanya
pertentangan dalam norma-norma dan nilai-nilai.
Ada
kalanya unsur-unsur baru dan lama yang bertentangan secara bersamaan
mempengaruhi norma-norma dan nilai-nilai yang kemudian berpengaruh juga pada
warga masyarakat. Apabila ketidakserasian dapat dipulihkan kembali setelah
terjadi suatu perubahan, maka keadaan tersebut dinamakan penyesuaian (adjustment). Bila
sebaliknya terjadi maka dinamakan ketidakpenyusuaian social (maladjustment) yang
mungkin mengakibatkan terjadinya anomie.
Suatu
perbedaan dapat diadakan antara penyesuaian dari lembaga-lembaga kemasyarakatan
dan penyesuaian dari individu yang ada dalam masyarakat tersebut.
Yang pertama menunjuk pada keadaan, dimana masyarakat
berhasil menyesuaikan lembaga-lembaga kemasyarakatan dengan keadaan yang
mengalami perubahan sosial dan kebudayaan. Sedangkan yang kedua menunjuk pada
usaha-usaha individu untuk menyesuaikan diri dengan lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang telh diubah atau diganti agar terhindar dari disorganisasi
psikologis.
2.7 Peristiwa-peristiwa Perubahan Kebudayaan
1. Ketidakserasian Perubahan-perubahan dan Ketertinggalan
Budaya (Cultural lag)
Cultural
lag adalah perbedaan antara taraf kemajuan berbagai bagian dalam kebudayaan
masyarakat. Pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan, tidak selalu
perubahan-perubahan pada unsur-unsur masyarakat dan kebudayaan mengalami
kelainan yang seimbang. Ada unsur-unsur yang dengan cepat berubah. Akan tetapi
ada pula unsur-unsur yang sukar untuk berubah. Biasanya unsur-unsur kebudayaan
kebendaan lebih berubah daripada unsur-unsur kebudayaan rohaniah. Misalnya,
suatu suatu perubahan dalam cara bertani, tidak begitu berpengaruh terhadap
tari-tarian tradisional. Akan tetapi sistem pendidikan anak-anak mempunyai
hubungan yang erat dengan dipekerjakannya tenaga-tenaga wanita pada industri.
Apabila dalam hal ini terjadi ketidakserasian, maka kemungkinan akan terjadi
kegoyahan dalam hubungan antara unsur-unsur tersebut diatas, sehingga
keserasian masyarakat terganggu.
Suatu teori yang terkenal didalam sosiologi mengenai
perubahan dalam masyarakat adalah teori ketertinggalan budaya (cultural lag)
dari William F. Ogburn: Teori tersebut mulai dengan kenyataan
bahwa pertumbuhan kebudayaan tidak selalu sama cepatnya dalam keseluruhannya
seperti diuraikan sebelumnya, akan tetapi ada bagian dalam kebudayaan dari
suatu masyarakat, dinamakan cultural lag (artinya ketertinggalan
kebudayaan). Juga suatu ketertinggalan (lag) terjadi apabila laju
perubahan dari dua unsur masyarakat atau kebudayaan (mungkin juga lebih) yang
mempunyai korelasi, tidak sebanding, sehingga unsur yang satu tertinggal oleh unsur
lainnya. Perubahan itu bisa berupa discovery (penemuan), invention (ciptaan
baru), dandiffusion (difusi, peleburan dari ciptaan lama dengan baru).
Suatu
contoh dapat dikemukakan mengenai tenaga listrik antara tahun 1963-1966 di
Jakarta, dibandingkan dengan kebutuhan penduduk yang semakin meningkat
jumlahnya. Keadaan listrik di kota Jakarta sangat dibawah norma-norma
persyaratan listrik bagi kota-kota besar, dan dari hal itu dapat dapat pula
dinilai norma-norma kesejahteraan masyarakat Jakarta ini. Listrik di Jakarta
hanya lebih melayani 100.000 langganan atau 500.000 penduduk, yang berarti
lebih kurang hanya 13% dari seluruh penduduk Jakarta, atau satu dianta delapan
keluarga. Keadaan perlistrikan yang sebenarnya di Jakarta adalah sebagai berikut:
Tahun jumlah jumlah Beban Beban Jatah
penduduk langganan terpasang
(Kw) puncak yg
dicapai watt
1963 3.200.000 90.000 74.000 45.000 23
1966 3.800.000 100.000 82.000 60.000 22
Adanya
cultural lag disini adalah karena tidak sesuainya penyediaan dengan pemakaian
tenaga listrik dan juga karena terlalu cepatnya perkembangan penduduk Jakarta,
apabila dibandingkan dengan kecepatan pertumbuhan penyediaan listrik. Keadaan
tersebut mengakibatkan terjadinya ketidakwajaran, misalnya pencurian listrik
yang menyebabkan para knsumen yang benar-benar berlangganan dirugikan.
Pengertian
ketertinggalan dapat digunakan paling sedikit dalam dua arti, petama sebagai
jangka waktu antara terjadi dan diterimanya penemuan baru.
Ketertinggalan yang mencolok adalah ketertinggalan alam
pikiran dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat. Hal ini dijumpai
terutama pada masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang seperti indonesia
ini.
Suatu contoh nyata adalah penggunaan Komputer yang
merupakan salah satu hasil perkembangan teknologi di negara-negara maju.
Penggunaan alat tersebut harus disertai oleh peralatan-peralatan khusus seperti
untuk memperbaikinya apabila rusak. Aliran listrik harus mempunya ketegangan
tertentu, konstan dan seterusnya. Ini belum semuanya tersedia, misalnya aliran
listrik yang konstan. Hal itu dapat memacetkan computer atau kalau rusak untuk
memperbaikinya belum tentu tersedia alat dan ahli yang cukup.
Tidak
mudah memang untuk mengatasi persoalan demikian, paling tidak alam pikiran
manusia harus mengalami perubahan terlebih dahulu, yaitu dari alam pikiran
tradisional kea lam pikiran yang modern. Alam pikiran modern ditandai oleh
beberapa hal, misalnya sifatnya yang terbuka terhadap pengalaman baru serta
terbuka pula bagi perubahan dan pembaharuan. Tekanan dalam hal ini bukanlah
terletak pada keahlian dan kemampuan jasmaniah belaka, tetapi pada suatu jiwa
yang terbuka. Alam pikiran modern tidak hanya terpaut pada keadaan sekitarnya
saja yang langsung, akan tetapi juga berhubungan dengan hal-hal yang di luar
itu. Yaitu berpikir dengan luas. Di sini pendidikan memperoleh posisi
menentukan; semakin terdidik seseorang semakin terbuka dan semakin luar daya
pikirnya. Dia harus menyadari bahwa ada pendapat-pendapat lain dan sikap-sikap
lain yang mengelilingi dirinya. Kondisi lain yang juga harus diperhatikan
adalah bahwa alam pikiran modern lebih berorintasi pada keadaan sekarang serta
keadaan-keadaan mendatang daripada terhadap keadan-keadaan yang telah lau; dan
sehubungan dengan itu dia harus mengadakan perencanaan (planning)untuk
hari kedepannya.
Kiranya
seseorang dengan alam pikiran modern yakin bahwa manusia dapat belajar untuk
memanfaatkan dan menguasai alam sekelilingnya, daripada bersikap pasrah atau
pasif. Seorang juga yakin bahwa keadaan-keadaan dapat diperhitungkan, artinya
bahwa orang-orang lain serta lembaga-lembaga lain dapat diandalkan dalam
memenuhi kewajiban-kewajiban dan tanggung jawabnya. Dia tidak setuju pada
pendapat bahwa segala sesuatu dapat ditentukan oleh nasib atau oleh watak dan
sifat-sifat yang khusus dari orang-orang tertentu. Sehubungan dengan itu timbul
kesadaran akan harga diri orang-orang lain, sehingga dia menaruh keseganan
terhadap mereka. Kemudian, dia lebih percaya pada ilmu pengetahuan dan
teknologi walaupun dengan cara-cara sederhana sekalipun. Hal itu menimbulkan keyakinan
kepadanya bahwa penghargaan sebagai balas jasa, diberikan kepada mereka yang
betul-betul telah berjasa dan tidak atas dasar kekayaan atau kekuasaan yang
dimilikinya. Itu semuanya terutama dapat dicapai dengan pendidikan supaya orang
dapat berpikir secara ilmiah. Cara berpikir secara ilmiah herus melembaga dalam
diri manusia, terutama pada masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang, agar
terhindar dari terjadinya ketertinggalan budaya.
2. Cultural Shock (guncangan
kebudayaan)
Istilah
ini pertama kali dikemukakan oleh Kalervo Oberg (1958) untuk menyatakan apa
yang disebutnya sebagai suatu penyakit jabatan dari orang-orang yang tiba-tiba
dipindahkan ke dalam suatu kebudayaan yang berbeda dari kebudayaannya sendiri,
semacam penyakit mental yang tak disadari oleh korbannya. Hal ini akibat
kecemasan karena orang itu kehilangan atau tak melihat lagi semua tanda dan
lambang pergaulan sosial yang sudah dikenalnya dengan baik.
Misalnya, adalah peristiwa kebudayaan dimana
masyarakat melakukan perpindahan dari Negara satu ke Negara lain. Tetapi
terjadi perbedaan budaya yang jauh antar Negara tadi dan membuat masyarakat
bingung untuk berdaptasi. Keadaan ini lebih dipengaruhi dengan perbedaan
mendapat beasiswa di Perancis. Tetapi di Perancis, mereka lebih suka
menggunakan Bahasa Ibu mereka. Keadaan ini jelas akan membuat keadaan orang
Indonesia mengalami Cultural Shock dimana dia akan kebigungan dengan bahasa
yang tidak biasa dia dengar selama ini dan seperti yang kita ketahui, bahwa
Bahasa Perancis jika tidak terbiasa mendengarnya pasti akan sulit untuk
memahaminya.
Ada
empat tahap yang membentuk siklus culture shock:
a. Tahap inkubasi; kadang-kadang disebut tahap bulan
madu, sebagai suatu pengalaman baru yang menarik.
b. Tahap krisis; ditandai dengan suatu perasaan
dendam, pada saat inilah terjadi korban culture shock
c. Tahap kesembuhan; korban mampu melampaui tahap kedua,
hidup dengan damai.
d. Tahap penyesuaian diri; sekarang orang tersebut
sudah membanggakan sesuatu yang dilihat dan dirasakannya dalam kondisi yang
baru itu, rasa cemas dalam dirinya sudah berlalu.
Penyesuaian diri antarbudaya
dipengaruhi oleh berbagai factor, diantaranya factor intern dan factor ekstern.
Faktor intern ialah faktor watak (traits) dan kecakapan (skills). Watak adalah segala tabiat yang
membentuk keseluruhan kepribadian seseorang, yang dalam bahasa sehari-hari
biasanya merupakan jawaban atas pertanyaan, “orang macam apa dia?” jawabannya:
emosional, pemberani, bertanggung jawab, senang bergaul dan seterusnya. Orang
yang senang bergaul biasanya akan lebih mudah menyesuaikan diri.
Kecakapan atau skills menyangkut segala sesuatu
yang dapat dipelajari mengenai lingkungan budaya yang akan dimasuki, seperti
bahasa, adat-istiadat, tata karma, keadaan geografi, keadaan ekonomi, situasi
politik, dan sebagainya.
Selain kedua faktor ini, juga sikap (attitude) seseorang
berpengaruh terhadap penyesuaian diri antarbudaya. Yang dimaksud dengan sikap
di sini adalah kesiagaan mental atau saraf yang terbina melalui pengalaman yang
memberikan pengarahan atau pengaruh terhadap bagaimana seseorang menanggapi
segala macam objek atau situasi yang dihadapinya. Contoh-contoh sikap: terus terang,
berprasangka baik atau buruk, curiga, optimis, pesimis, skeptis, ekstrem,
moderatm toleran, tepa sliro, dan sebagainya. Orang-orang yang bersikap
terus terang dan terbuka atau berprasangka baik akan lebih berhasil dalam
menyesuaikan diri.
Faktor
ekstern yang berpengaruh terhadap penyesuaian diri antarbudaya adalah:
1. Besar-kecilnya perbedaan antara
kebudayaan tempt asalnya dengan kebudayaan lingkungan yang dimasukinya.
2. Pekerjaan yang dilakukannya,
yaitu apakah pekerjaan yang dilakukannya itu dapat ditolerir dengan latar
belakang pendidikannya atau pekerjaan sebelumnya.
3. Suasana lingkungan tempat ia
bekerja. Suasana lingkungan yang terbuka akan mempermudah seseorang untuk
menyesuaikan diri bila dibandingkan dengan suasana lingkungan yang tertutup.
C. Cultural survival
Istilah ini ada sangkut pautnya
dengan cultural lag karena mengandung pengertian adanya suatu cara
tradisional yang tak mengalami perubahan sejak dahulu sampai sekarang. Cultural
survival adalah suatu konsep yang lain, dalam arti bahwa konsep ini
dipakai untuk menggambarkan suatu praktek yang telah kehilangan fungsi
pentingnya seratus persen, yang tetap hidup dan berlaku semata-mata hanya di
atas landasan adat-istiadat semata-mata. Jadi, pengertian lag dapat
dipergunakan paling sedikit dalam dua arti, yaitu:
1. Suatu jangka waktu antara terjadinya penemuan
baru dan diterimanya penemuan baru tadi.
2. Adanya perubahan dalam pikiran manusia dari alam
pikiran tradisional ke alam pikiran modern.
Terjadinya cultural
lag ialah karena adanya hasil ciptaan baru yang membutuhkan aturan-aturan
serta pengertian yang baru yang berlawanan dengan hukum-hukum serta cara-cara
bertindak yang lama, tetapi ada pula kelompok yang memiliki sifat keterbukaan,
malahan mengharapkan timbulnya perubahan dan menerimanya dengan mudah tanpa
mengalami cultural lag. Misalnya sebagai berikut, seorang pria
menggunakan mantel yang memiliki ekor dan dulunya itu digunakan untuk berkuda,
tetapi masih saja budaya itu digunakan untuk membuat mantel dalam pernikahan.
Inilah yang dimaksud dengan cultural survival.
D. Pertentangan kebudayaan (cultural conflict)
Pertentangan
kebudayaan ini muncul sebagai akibat relatifnya kebudayaan. Hal ini terjadi
akibat konflik langsung antarkebudayaan. Faktor-faktor yang menimbulkan konflik
kebudayaan adalah keyakinan-keyakinan yang berbeda sehubungan dengan berbagai
masalah aktivitas berbudaya. Konflik ini dapat terjadi di antara
anggota-anggota kebudayaan yang satu dengan anggota-anggota kebudayaan yang
lain. Dapat dicontohkan dengan adanya pro dan kontra atas terjadinya perbudakan
di Amerika. Hasil dari pro dan kontra tadi adalah perang saudara di amerika.
2.8 Barat dan Timur di Antara Kebudayaan Nasional
Hampir
sepanjang sejarah, kontak antara Timur dengan Barat lebih berwujud konflik,
disharmoni, persaingan, atau perang dibanding konsensus nilai atau saling
mengerti. Meskipun teknologi dan komunikasi sudah demikian modern dan
canggihnya, tetap saja ketidaktahuan di antara Barat dan Timur menyelimuti
pengetahuan kebudayaan dan nilai spiritual yang dimiliki. Demikian pula adanya
orientalisme (ilmu ketimuran atau ilmu tentang dunia Timur) tidak membantu
terjadinya harmoni antara Barat dan Timur. Justru sebaliknya, banyak orientalis
(ahli Barat yang mempelajari Timur) tidak memberikan gambaran objektif, bahkan
banyak penelitian orientalis yang digunakan dalam rangka memperkuat penetrasi
politik Barat. Khusus umat Islam Indonesia dengan orientalis Snouck Hurgronje
merupakan contoh yang jelas tentang adanya disharmoni di antara Barat dan
Timur.
Terjadinya
disharmoni di antara Barat dan Timur disebabkan oleh pikiran Barat tentang
Timur yang penuh dengan bayangan negatif yang stereotipe dan prasangka. Akibat
demikian, alam pikiran barat dengan Timur tidak pernah bertemu. Dalam pikiran
Timur, Barat digambarkan sebagai materialisme kapitalisme, rasionalisme,
dinamisme, saintisme, positivisme, sekularisme, dan lain-lain. Sebaliknya
pikiran Barat membayangkan Timur sebagai kemiskinan, kobodohan, statis,
fatalis, kontemplasi, dan lain-lain. Tebtu saja kalau bayangan pikiran Barat
dan Timur digambarkan demikian, maka Barat dan Timur terdapat sikap yang
berlawanan, yang pada gilirannya akan terwujud konflik, disharmoni, persaingan,
atau perang.
Untuk
membuktikan apakah betul bahwa antara Barat dan Timur terjadi sikap yang
berlawanan, kita perlu menelusuri masing-masing watak dan pemikiran tersebut.
1. Nilai Budaya Barat
Barat
dalam pikirannya cenderung menekankan dunia objektif daripada rasa sehingga
hasil pola pemikiran demikian membuahkan sains dan teknologi. Firasat Barat
telah dipusatkan kepada wujud dunia rasio. Oleh karenanya, pengetahuan
mempunyai dasar empiris yang kuat. Demikian pula dalam tradisi agama Barat,
dunia empiris memiliki arti (Harold, Merylin, dan Richard, 1979). Pada zaman
sekarang semakin nyata bahwa sikap aktif dan rasional di dunia Barat unggul,
sebaliknya pandangan hidup tradisional baik filsafat maupun agama ada kesan
mundur.
Barat
dalam cara berpikir dan hidupnya lebih terpikat oleh kemajuan material dan
hidup sehingga tidak cocok dengan cara berpikir untuk meninjau makna dunia dan
makna hidup. Barat hidup dalam dunia teknis dan ilmiah, maka filsafat
tradisional dan pemahaman agama muncul sebagai suatu sistemik ide-ide abstrak
tanpa hubungan dengan yang nyata dan praktek hidup. Akibatnya, pengaruhnya atas
dasar hidup dan pikiran orang semakin berkurang karena Barat mengunggulkan cara
berpikir analitis rasional, yakni filsafat positivism, maka mereka menganggap
pikiran nilai-nilai hidup yang meminta kepekaan hati sebagai suatu yang
subjektif dan tidak bermutu. Apa yang tidak rasional diserahkan pada daya
pembayangan para sastrawan, sehingga karya sastra bukan saja pantulan hidup,
melainkan juga merupakan norma kehidupan (Theo Huijbers, 1986). Kalau begitu,
apa yang menjadi dasar nilai-nilai di Barat? Menutut To Thi Anh (1975) ada tiga
nilai penting yang mendasari semua nilai di Barat, yakni martabat manusia,
kebebasan, dan teknologi.
Dalam
tradisi humanistik ditekankan bahwa setiap manusia harus memilih untuk dirinya
tentang kebenaran dan kebaikan. Akibatnya gerakan sekularisme pemikiran semakin
berkembang dan diperluas ke bidang estetika, moral, dan agama. Agama yang
dikalangan Timur merupakan sumber nilai, di Barat dicampakan. Barat menganggap
kebajikan agama tidak ada bedanya dengan kebajikan kodrati manusia. Barat ingin
membangun agama baru yang tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan, sebab
agama (di Barat) mengalami kemunduran melalui tekanan mentalitas ilmiah. Di
Barat kepuasan diperoleh melalui usaha-usaha atau perhatian terhadap benda,
kenikmatan dan keselarasan di dunia. Usha-usaha ini dengan sendirinya dapat
menimbulkan kondisi kehidupan yang penuh dengan persaingan masyarakat dalam
mencapai kehidupan, terkadang dapat menimbulkan kekacauan.
Tentang
kebebasan di Barat cukup menarik untuk diamati. Semua orang Timur menganggap
bahwa Barat itu negara kebebasan, segala sesuatunya serba mungkin terjadi. Hal
ini mulai dari sosialisasi anak, yang dibiarkan untuk membentuk dirinya sendiri
dan mengembangkan bakatnya sendiri. Spontanitas lebih dihargai dan individu
bebas dari tekanan dan campur tangan orang lain. Akhirnya kebebasan itu
diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan sosial, politik, kebudayan, dan
ekonomi. Tradisi kebebasan ini menimbulkan rasa percaya diri dan kemampuan
serta menghilangkan perbedaan status sosial.
Teknologi
Barat membikin kagum dan iri bangsa Timur. Tidak sedikit negara Timur yang
menjadi korban “penjajahan” teknologi Barat karena rasa kagum ini. Filsafat
berdiri di atas kaki sendiri tidak tahan terhadap godaan dan tantangan
teknologi Barat sehingga tunduk kepada teknologi. Hasil teknologi Barat
melebihi kebutuhan manusia, bahkan mengganggu kepentingan manusia karena
terlalu cepat sampai ke depan (Alfin Topler menyebutnya future shock).
Cepatnya teknologi di Barat sulit diikuti imajinasi sehingga banyak benda yang cepat
dimusiumkan.Di Barat lebih condong menekankan dunia empiris sehingga mereka
maju dalam sains dan teknologi. Melalui pengaruh Yunani, Barat berkembang dalam
pengetahuan deskriptif dan spesialisasi.
Dukungan
sikap Barat yang lebih besar tekanannya kepada realitas dan nilai waktu
menyebabkan perkembangan yang pesat dalam filsafat profesi pengonsepan evolusi
kreatif serta kemajuan. Dengan demikian, waktu mempunyai peran dalam
keselamatan manusia. Manusia dengan alam menurut konsep Barat adalah terpisah.
Alam sebagai dunia luar harus dieksploitasi. Hal ini tertulis dalam kata-kata:
menaklukan luar Angkasa, menaklukan alam dan hutan rimba. Kata-kata tersebut
dibuktikan oleh problema yang dihadapi Barat seperti polusi udara dan air.
2. Nilai Budaya Tmur
Nilai
budaya Timur pada intinya banyak bersumber dari agama-agama yang lahir di dunia
Timur. Pada umumnya manusia-manusia Timur menghayati hidup yang meliputi
seluruh eksistensinya. Berpikir secara Timur tidak bertujuan menunjang
usaha-usaha manusia untuk menguasai dunia dan hidup secara teknis, sebab
manusia Timur lebih menyukai intuisi daripada akal budi. Inti kepribadian
manusia Timur tidak terletak pada inteleknya, tetapi pada hatinya. Dengan hatinya
mereka menyatukan akal budi dan intuisi serta inteligensi dan perasaan.
Ringkasnya, mereka menghayati hidup tidak hanya dengan otaknya.
Nilai
budaya yang dipengaruhi oleh ajaran Hindu dan Budha membuat kebijaksanaan Timur
bersifat kontemplatif, tertuju kepada tinjauan kebenaran. Dengan demikian,
berpikir kontemplatif dipandang sebagai puncak perkembangan rohani manusia.
Pemikir Timur lebih menekankan segi dalam dari jiwa, dan realitas di belakang
dunia empiris dianggap sebagai sesuatu yang hanya lewat dan bersifat khayalan.
Timur lebih menekankan disiplin mengendalikan diri, sederhana, dan tidak
mementingkan dunia, bahkan menjauhkan diri dari dunia. Sesuatu yang baik
menurut Timur tidak terdapat hanya dalam dunia benda, tidak dengan memanipulasi
alam, mengubah masyarakat dan mencari kesenangan bagi dirinya. Aka tetapi, yang
baik itu diperoleh melalui pencarian zat yang satu, di dalam diri kita atau di
luarnya.
Di
Timur dicari keharmonisan dengan alam, sebab alam memberikan kehidupan, member
makanan, tempat berteduh, bahan untuk seni dan sains. Nafsu untuk memperoleh
hikmah atau kerinduan akan keselamatan dan kebebasan diri dari penderitaan
dunia, bagi dunia Timur cukup kuat. Ide keselamatan ini besar pengaruhnya dalam
membentuk mentalitas, teori, dan praktek bangsa Timur. Jalan untuk memperoleh
ini semua tidak terletak pada akal budinya, tetapi dilalui melalui meditasi,
tirakat (ascetic), dan mistik.
Dalam
hal menegakan norma, Timur tidak hanya bersumber dari ajaran agama, tetapi ide
abstrak atau simbolik pun dapat terwujud konkret dalam praktek kehidupannya.
Mencari ilmu tidak hanya untuk menambah pengetahuan intelektual saja, tetapi
mencari kebijaksanaan. Jelasnya, dalam menghadapi kenyataan, orang Timur
memadukan pengetahuan, intuisi, pemikiran yang konkret, simbolik, dan
kebijaksanaan.
Sikap
orang Timur terhadap alam adalah menyatu dengan alam, tidak memaksakan diri
dengan atau mengeksploitasi alam, bahkan menginginkan harmonisasi dengan alam
karena alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Kalu alam binasa, maka manusia pun akan binasa. Untuk menjaga hubungan yang
harmonis terkadang muncul ekspresi konkret dalam bentuk hubungan mistik manusia
dengan alam. Nilai kehidupan Timur yang tertinggi datang dari alam, seperti
“nrimo” kenyataan, mencari ketenangan dan waktu demi kesenangan, belajar dari
pengalaman, menyatukan diri,. Terkadang nilai spiritual yang dalam itu membuat
sikap memuliakan kesendirian dan kemiskinan, mengdindar untuk membangun dunia,
hisup sederhana dan dekat dengan kehidupan alamiah. Ringkasnya, Dunia Timur
menginginkan kakayaan hidup, bukan kekayaan benda, tenag tentram, menyatu diri,
fatalisme, pasivitas, dan menarik diri.
4. Rumusan Tentang Kebudayaan Nasional Indonesia
Kita
menyadari bahwa kepulauan Nusantara terdiri atas aneka warna kebudaan dan
bahasa sehingga, demi integrasi nasional, kita mempunyai rumusan Bhinneka
Tunggal Ika yang artinya Bhinna = pecah, Ika = itu, dan Tunggal = satu,
sehingga Bhinna Ika Tunggal Ika artinya “terpecah itu satu”.
Kita
bangga dengan rumusan tersebut, tetapi kita prihatin dengan aneka warna masalah
yang timbul akibat aneka warna bangsa kita. Dan yang paling pokok dalam
pembicaraan ini adalah masalah kebudayaan nasional Indonesia. Selain perbedaan
di dalam pengertian kebudayaan nasionalnya sendiri, juga hal ini menyangkut
masalah cita-cita suatu bangsa yang akan menentukan masa depannya.
Tidak
jarang sifat ke-bhinneka-an bangsa kita sampai pada konflik tingkat nasional
yang menyebabkan terganggunya integrasi nasional sebagai cita-cita bangsa.
Demikian pula masalah kebudayaan menyangkut kepribadian nasional dan langsung
mengenai identitas suatu bangsa. Dan logikanya proses pembangunan manusia dan
masyarakat tidak dapat melepaskan diri dari unsure kebudayaan. Manusia dan
masyarakat tidak akan berhasil dalam pembangunan dirinya kalau selalu sadar
terhadap pengaruh kebudayaan yang tak mungkin dapat ditolaknya.
Berdasarkan
berbagai pertimbangan di atas, kita perlu menelusuri kebudayaan nasional
Indonesia. Pembicaraan kebudayaan nasional dimulai sejak tahun 1936 ketika
diselenggarakan polemik kebudayaan antara Sultan Takdir Alisjahbana c.s.
di satu pihak (sebagai wakil Golongan Indonesia Moeda) dan Sanusi Pane, Ki
Hajar Dewantara, serta Dr. Sutomo dipihak lain. Polemic ini lengkapnya ada
dalam buku Polemik Kebudayaanyang diterbitkan oleh Balai Poestaka pada
tahun 1948.Rumusan tentang kebudayaan nasional itu dapat
dikelompokkan ke dalam dua aliran, yaitu:
1. Ke-Indonesiaan sebenarnya sudah
ada sejak dahulu kala, mulai dari adat, seni, dan lain-lain. Yang belum ada
ialah nasion Indonesia. Jadi, yang perlu diusahakan oleh bangsa Indonesia dalam
membangun kebudayaan nasionalnya ialah bagaimana memperbaharui kebudayaan
sehingga sesuai dengan kebangsaan Indonesia. Jalan yang harus ditempuh ialah
perluasan dasar kebudayaan Indonesia dengan cara memesrakan (menyerapkan,
memadukan) materialisme, intelektualisme, dan individualisme (Barat) dengan
spritualisme, perasaan, dan kolektivisme (Timur). Aliran pertama ini dipelopori
oleh Ki Hajar Dewantara c.s.
2. Aliran yang dipelopori oleh
SSultan Takdir Alisjahbana menghendaki penciptaan kebudayaan nasional Indonesia
banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur Barat yang dinamis. Kebudyaan nasional yang
baru itu dengan sendirinya mencerminkan pula watak dan kepribadian bangsa
Indonesia yang berbeda dengan watak dan kepribadian sebelumnya (masyarakat dan
kebudayaan pra-Indonesia).
Kalau
diperhatikan dengan seksama, sebenarnya kedua aliran tersebut menghendaki
adanya peranan kebudayaan Barat dalam kebudayaan nasional, hanya dalam hal
peranannya yang berbeda. Aliran pertama – Ki Hajar Dewantara c.s.-
menghendaki perluasan dasar asas Barat. Bukan perubahan, melainkan perluasan dengan
asas Barat. Kebudayaan nasional Indonesia sebagai kebudayaan Timur harus
mementingkan kerokhanian, perasaan, gotong royong, bertentangan dengan
kebudayaan Barat yang mementingkan materi, intelektualisme, dan individualism.
Orang Indonesia tidak boleh melupakan sejarah dan kebudayaannya, sebab dengan
mempelajari sejarah dan kebudayaan di masa lalu, ia dapat membangun kebudayaan
yang baru. Kebudayaan Indonesia harus berakar pada kebudayaan pra-Indonesia.
Koentjaraningrat
berpendapat bahwa pembangunan kebudayaan nasional Indonesia perlu berorientasi
ke zaman kejayaan nenek moyang bangsa Indonesia yang telah lampau, tetapi juga
ke zaman yang sekarang karena kebudayaan perlu member kemampuan bangsa
Indonesia untuk menghadapi peradaban dunia masa kini. Konsep Koentjaraningrat
tentang kebudayaan nasional bersifat operasional, yaitu berorientasi pada
warisan nenek moyang dari zama kejayaan dan pada zaman sekarang, yaitu zaman
modern (Barat). Dalam pemikiran ini tercermin adanya sintesis antara Barat dan
Timur, warisan dari zaman keemasan nenek moyang artinya sealiran dengan
pemikiran Ki Hajar Dewantara c.s.
Karena
Indonesia mempunyai landasan Ideologi Pancasila, maka ditinjau dari perspektif fungsional,
pancasila akan diuji karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya akan
menentukan orientasi tujuan sosio-politik serta serta kebudayaan pada tingkat
makro, akan menentukan kaidah-kaidah yang mendasari pola kehidupan nasional.
Pancasila dalam hal ini tidak hanya menjadi determinasi bagi kehidupan moral
bangsa, tetapi memiliki fungsi teologis (teori) akan memberikan paying
ideologis bagi berbagai unsur masyarakat.
Pancasila
dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yang meliputi eksistensi
manusia Indonesia, dapat berfungsi sebagai etos kebudayaan nasional. Pancasila
sebagai etos kebudayaan Indonesia harus direalisasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam hal ini, pancasila berfungsi sebagai kebudayaan normatif
yang akan menjelma berupa personalisasi. Personalisasi tersebut merupakan
kebudayaan nasional yang meliputi konsep kepribadian nasional dan identitas
nasional.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Peristiwa-peristiwa
perubahan kebudayaan selalu melanda semua bangsa dan negara di dunia
demikian pula tidak terkecuali melanda masyarakat Indonesia.
Peristiwa-peristiwa perubahan kebudayaan oleh Munandar (1987) dibagi atas:
cultural lag, cultural survival, cultural conflict dan cultural shock. Fenomena
ini tidak lain diakibatkan oleh dua faktor yang berasal dari dalam dan faktor
yang berasal dari luar, faktor dari dalam yaitu bertambahnya atau berkurangnya
penduduk, penemuan-penemuan baru, pertentangan-pertentangan dalam masyarakat, terjadinya
pemberontakan atau revolusi di dalam tubuh masyarakat itu sendiri. Sedangkan
faktor dari luarnya yaitu sebab-sebab yang berasal dari lingkungan fisik yang
ada di sekitar manusia, peperangan dengan negara lain, serta pengaruh
kebudayaan masyarakat lain.
3.2 Saran
Kebudayaan bangsa Indonesia merupakan kebudayaan
yang terbentuk dari berbagai macam kebudayaan suku dan agama sehingga banyak
tantangan yang selalu merongrong keutuhan budaya itu tapi dengan semangat
kebhinekaan sampai sekarang masih eksis dalam terpaan zaman. Kewajiban kita
sebagai anak bangsa untuk tetap mempertahankannya budaya itu menuju bangsa yang
abadi, luhur, makmur dan bermartabat.
DAFTAR
PUSTAKA
Prof. Dr. Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu
Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013
Prof. Dr.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, 2009
Jacobus Ranjabar, S.H.,
M.Si., Sistem Sosial Budaya Indonesia suatu pengantar, Bandung: CV.
Alfabeta, 2013